KATA
PENGANTAR
Puji syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas
izin-Nya sehingga makalah yang berjudul “ HUBUNGAN
KEPALA DAERAH DAN DPRD DALAM PROSES PENYUSUNAN RANCANGAN
PERATURAN DAERAH”
dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa pula salawat dan salam kami
haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW karena sampai saat ini kita
dapat mengenal Islam dan lebih esensialnya kita dapat mengenal Allah SWT yang
memberikan kita akal dan pikiran untuk berpikir dan bertindak.
Terima
kasih pula Penulis haturkan kepada Dosen Pembimbing mata kuliah Kapita Selekta Pemerintahan atas bimbingan dan
tuntunannya sehingga Penulis mampu mengerti penyusunan makalah ini dengan baik.
Pola penyajian materi dalam makalah ini disesuaikan
dengan beberapa sumber yang penulis dapat sebagai pelengkap pembahasannya.
Namun sebagai manusia yang tidak luput dari khilaf dan salah, penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat harapkan sebagai bentuk pembelajaran kepada penulis untuk
menyempurnakan makalah ini ke depan.
Makassar, Maret 2013
PENULIS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menurut
UU Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam kerangka sistem dan
prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Dalam hal ini,
penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh eksekutif (Pemerintah
Daerah) dan legislatif (DPRD), yang masing-masing mempunyai tugas dan wewenang
dalam rangka mewujudkan pelayanan yang baik kepada masyarakat.
Hubungan
kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama
mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah
sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga di antara kedua lembaga itu
membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung bukan merupakan
lawan ataupun pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.
Segala aktivitas yang dilaksanakan oleh eksekutif berdasarkan pada desain
pembangunan dan alokasi pembiayaan yang memerlukan persetujuan DPRD. Dalam
pelaksanaannya, DPRD melakukan pengawasan, agar tidak terjadi penyimpangan.
Instrumen
pertanggaung jawaban Kepala Daerah dalam hal ini Bupati atau Walikota kepada
DPRD dimaksudkan sebagi upaya dalam rangka pemberdayaan DPRD. Namun, dalam
praktiknya tidak jarang menjadi salah satu sumber potensi dari terjadinya
konflik antara Bupati atau Walikota dan DPRD. Bahkan, merupakan sarana bagi
sebagian besar daripada anggota DPRD untuk menjatuhkan Kepala Daerah.
Dalam
bentuk yang lain, hubungan antara kedua organ atau lembaga daerah ini tidak
hanya berpotensi menimbulkan kanflik, tetapi juga dapat berbantuk kolutif yang
diwarnai dengan money politic.
Bidang-bidang kegiatan yang berpeluang untuk terjadinya money politic, yaitu dalam proses pemilihan kepala daerah,
penyusunan RAPBD, penyusunan keuangan DPRD, penyusunan Raperda, pengawasan oleh
DPRD, pertanggung jawaban Kepala Daerah, pengangkatan sekertaris daerah.
Selama
ini, masih sering ditemukan adanya persepsi yang berbeda antara pihak eksekuif
dan legislatif daerah. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan disharmoni, yang
bermuara pada konflik antar kedua pihak tersebut. Dalam hal penyusunan Perda
yang mayoritas diinisiasi oleh pihak Pemda tidak sesuai dengan keinginan DPRD.
Penentuan alokasi anggaran pun sering menghadapi kendala, baik dalam hal
proses, indikator maupun besarannya. Terlebih jika melihat pada mekanisme
pengawasan yang jamak dikeluhkan oleh pihak eksekutif, karena tidak adanya kesamaan
pada fase perencanaan. Berbagai permasalahan tersebut, disebabkan oleh belum
terbangunnya tata hubungan/mekanisme yang terstruktur dalam pelaksanaan tugas
dan wewenang antara Pemerintah daerah dan DPRD.
Salah
satu bentuk dari hubungan antara Bupati atau Walikota sebagai kepala daerah dan
DPRD Kabupaten atau Kota yaitu dalam proses penyusunan peraturan daerah yang
sering kita kenal dengan istilah Ranperda. Dimana salah satu bentuk bentuk
tebitnya suatu peraturan yaitu dengan usulan pemerintah daerah yang dimotori
oleh kepala daerah dalam hal ini Bupati atau Walikota.
Dalam
makalah yang sederhana ini kami sebagai penulis akan membahas mengenai hubungan
antara Bupati atau Walikota dan DPRD Kabupaten atau Kota dalam proses
penyusunan rancangan peraturan daerah. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa
kedua lambaga baik itu legislati maupun eksekutif harus besinergi untuk
menciptakan tata pemerintahan yang baik.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
Penjelasan pada bagian sebelumnya, maka kami sebagai penulis dari makalah
sederhana ini mengangkat beberapa rumusan masalah terkait masalah utama yang
hendak akan dibahas. Rumusan masalah yaitu :
1. Bagaimana
hubungan antara Bupati atau Walikota dan DPRD Kabupaten atau Kota dalam proses
penyusunan rancangan peraturan daerah ?
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah yang sederhana ini berdasarkan rumusan masalah
diatas, yaitu:
1. Untuk
mengetahui hubungan antara Bupati atau Walikota dan DPRD Kabupaten atau Kota
dalam proses penyusunan rancangan peraturan daerah.
1.4. Manfaat Penulisan
Hasil
dari penulisan makalah yang sangat sederhani ini, nantinya diharapkan
memberikan manfaat. Dimana manfaat yang diharapkan yaitu sebagai pemenuhan
tugas mata kuliah Kapita Selekta Pemerintahan.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Hubungan Legislatif dan
Eksekutif Daerah
Hubungan
antara Legislatif Daerah (DPRD) dan Eksekutif Daerah (Kepala Daerah dan
perangkatnya) sebagimana diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 ternyata banyak
menyimpan pertanyaan, yang oleh penulis sebut sebagai suatu “antitesis”, yaitu
suatu konsep yang bertentangan dengan ideal.
Di
dalam pasal 16 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
dijelaskan secara lengkap bahwa: “DPRD sebagai badan legislatif daerah
berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah”. Berdasarkan isi
pasal tersebut dapat diambil gambaran bahwa DPRD merupakan mitra sejajar
eksekutif. Isi pasal 16 ayat (2) tersebut bertentangan dengan isi pasal 44 ayat
(2), yang isinya: “Dalam menjalankan tugas dan kewajiban kepala daerah
bertanggung jawab kepada DPRD”. Konsep laporan pertanggungjawaban, menurut
pemahaman penulis, mempunyai dua subjek yang berbeda tingkatan. Subjek yang
meminta pertanggungjawaban, mempunyai posisi yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan subjek yang dimintai pertanggungjawaban. Dengan demikian
letak kesejajaran antara DPRD sebagai legislatif daerah dan Pemerintah Daerah
sebagai eksekutif daerah, hanya menjadi sebuah “antitesis”.
Ada
beberapa pendapat yang mencoba mencari “justifikasi” terhadap masalah di atas,
Pertama, bermitra di satu sisi dan laporan pertanggungjawaban di sisi yang lain
terjadi karena DPRD secara fungsi merupakan gabungan antara DPR dan MPR
(ditingkat pusat) sedangkan di daerah hanya dilaksanakan oleh satu lembaga
yaitu DPRD. Kedua, DPRD bermitra dengan eksekutif ketika menjalankan
legislative and budgetting functions, sedangkan laporan pertanggungjawaban
merupakan pengejewantahan control functions. Apapun yang menjadi pembenar,
materi UU No. 32 tahun 2004 tidak mengatur secara tegas hubungan antara
legislatif daerah dan eksekutif daerah, terutama menyangkut Siapa, Mengerjakan
Apa, Dan Bagaimana Caranya.
Akibat
ketidak jelasan tersebut, mungkin pada prakteknya akan berpengaruh terhadap
kinerja masing-masing pihak, terutama DPRD yang seolah-olah memposisikan diri
sebagai ordinat dan pemerintah daerah sebagai subordinatnya. Anggota DPRD
mungkin akan lebih berminat menilai Laporan Pertanggungjawaban Bupati (LPJ), ketimbang
menjalankan fungsinya yang lain, yaitu fungsi legislasi dan anggaran. Jika
seandainya sistem pemerintahan daerah kita mau menganut check and balances
system, maka kondisi tersebut tidak terlihat dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Pola kemitraan pada dasarnya biasa dikenal dalam dunia
ekonomi, kemitraan dilaksakan untuk meningkatkan kesejahteraan diantara yang
bermitra, atau dengan kata lain tujuan yang diinginkan dapat dicapai dengan
maksimal oleh mitra-mitra. Tony Blair menyatakan bahwa: “No democratic society should be governed except in partnership”
(Tony Blair,1996). Blair mencoba menjelaskan bahwa bukan masyarakat demokratik
ketika proses pemerintahannya tanpa didasari adanya kerjasama/bermitra. Penulis
sepakat untuk masalah tersebut, tetapi harus diperhatikan bahwa
hubungan yang terjadi antara DPRD dan Kepala Daerah adalah hubungan politik,
karena keduanya merupakan organ politik, sehingga apabila pola kemitraan yang
terlalu dikedepankan, maka hanya akan membentuk “koncoisme” antara DPRD dan
Pemerintah Daerah. Hal tersebut berarti akan berimbas terhadap proses
akuntabilitas pelaksanaan pemerintahan, sehingga pada tingkatan akar rumput
akan terlihat seperti “dagelan” dan bahan tawaan.
2.2. Pengertian Peraturan Daerah
Menurut
Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang dimaksud dengan Peraturan Daerah (Perda) adalah
peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
Definisi
lain adalah peraturan perundang- undangan yang
dibentuk bersama oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di Propinsi maupun di
Kabupaten/Kota
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah Propinsi/Kabupaten/Kota
dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari
peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing- masing daerah.
Sesuai
ketentuan Pasal 12 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, materi
muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan dan
menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi. Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal
dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur atau Bupati/Walikota.
Apabila
dalam satu kali masa sidang Gubernur atau Bupati/Walikota dan DPRD menyampaikan
rancangan Perda dengan materi yang
sama, maka yang dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh
DPRD, sedangkan rancangan Perda yang disampaikan oleh Gubernur atau
Bupati/Walikota dipergunakan sebagai bahan persandingan. Program penyusunan
Perda dilakukan dalam satu Program Legislasi Daerah 4, sehingga diharapkan
tidak terjadi tumpang tindih dalam penyiapan satu materi Perda. Ada berbagai
jenis Perda yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kota dan Propinsi
antara lain:
a. Pajak
Daerah;
b. Retribusi
Daerah;
c. Tata
Ruang Wilayah Daerah;
d. APBD;
e. Rencana
Program Jangka
f. Menengah
Daerah;
g. Perangkat
Daerah;
h. Pemerintahan
Desa;
i. Pengaturan
umum lainnya.
BAB III
PEMBAHASAN
Sebagaimana
yang telah dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya terkait tentang hubungan
antara kepala daerah dalam hal ini bupati atau walikota dan DPRD Kabupaten atau
Kota dalam menyusun rancangan peraturan daerah, maka pada bagian ini akan kita
dalami hal-hal tersebut.
Hubungan
Antara Bupati atau Walikota dan DPRD Kabupaten atau Kota Dalam Proses
Penyusunan Ranperda
Sebagaimana
yang kita ketahui bersama bahwa peraturan daerah yang kita kenal dengan istilah
perda merupakan suatu produk hukum yang dibuat oleh perangkat pemerintah daerah
guna mengatasi suatu permasalahn yang muncul. Dibuat atau disusunnya suatu
peratuaran daerah sampai dengan
diterapkannya tentu perlu proses yang panjang. Disamping proses yang
panjang perlu juga yang namanya kerjasama yang baik, dimana kerjasama yang baik
yangg dimaksud adalah bagaimana semua stakeholder
yang terkait mampu bekerjasama untuk membuat sampai dengan diterapkannya
peraturan daerah yang dimaksud.
Dalam
penyampaian usualan rancangan peraturan daerah ada dua macam bentuk pengusulan
yaitu secara inisiasi DPRD atau secara inisiasi Pemerintah daerah yang dimotori
oleh Kepala Derah baik itu Bupati maupun Walikota. Namun, sejalan dengan itu
semua baik itu rancangan peraturan daerah yang berasal dari anggota DPRD maupun
yang berasala dari pemerintah daerah yang disampaikan oleh Kepala Daerah itu
semuanya diselesaikan bersama-sama, semuanya saling terlibat satu sama lainnya.
Penyusunan
Prolegda dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan DPRD. Disusun berdasarkan
atas: (a) perintah peraturan perundang-undangan lebih tinggi; (b) rencana
pembangunan daerah; (c) penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan;
dan (d) aspirasi masyarakat daerah.
Rancangan
Perda yang berasal dari DPRD atau kepala daerah dibahas oleh DPRD dan kepala
daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Pembahasan dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu
pembicaraan tingkat I dan pembicaraan tingkat II. Pembicaraan tingkat I Dalam hal Rancangan
Perda berasal dari kepala daerah dilakukan dengan: penjelasan kepala daerah dalam rapat
paripurna mengenai Rancangan Perda; pemandangan umum fraksi terhadap Rancangan
Perda; dan tanggapan dan/atau jawaban kepala daerah terhadap pemandangan umum
fraksi. Pembicaraan tingkat II meliputi: (a) pengambilan keputusan dalam rapat
paripurna yang didahului dengan: penyampaian laporan pimpinan komisi/pimpinan
gabungan komisi/pimpinan panitia khusus yang berisi pendapat fraksi dan hasil
pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf; dan permintaan
persetujuan dari anggota secara lisan oleh pimpinan rapat paripurna. (b)
pendapat akhir kepala daerah.
Berikut
ini merupakan skema dari kerjasama antara pemerintah daerah yang dimotori oleh
Kepala Daerah baik itu Bupati atau Walikota dan DPRD Kabupaten atau Kota.
1. Usulan
DPRD berdasarkan PP No. 1 Tahun 2001
2. Usulan
Pemda berdasarkan Kepmendagri No. 23 Tahun 2001
Berdasarkan
dua diagram diatas, maka kita sudah dapat melihat bahwa dalam proses penyusunan
rancangan peraturan daerah sampai dengan disahkannya peraturan daerah yang
telah disusun tersebut, baik ranperda yang diusulkan oleh anggota DPRD itu
sendiri maupun yang diusulkan oleh pemerintah daerah melalui Kepala Daerah
semuanya itu melalui proses yang panjang dalam proses legislasi. Didalanya itu
pemerintah daerah baik itu Bupati atau Walikota saling terkait satu sama lain
dengan pihak DPRD.
Seperti
yang telah dijelaskan diatas, usulan Raperda dapat diinisiasi oleh pemda dan
DPRD dengan aturan main yang berbeda. Berdasarkan PP No. 1 Tahun 2001,
Penyusunan Raperda hasil usulan DPRD diawali oleh pengajuan usulan oleh
sejumlah anggota yang terdiri atas lebih dari satu fraksi. Usulan tersebut
disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPRD dalam bentuk Raperda, disertai
penjelasannya. Usul tersebut kemudian diberi nomor pokok oleh sekretariat DPRD.
Setelah itu disampaikan oleh pimpinan DPRD pada rapat paripurna setelah
terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari panitia musyawarah (pamus).
Sedangkan
penyusunan Raperda hasil usulan pemda, menurut Kepmendagri No. 23 Tahun 2001,
unit kerja dan pimpinan dinas/lembaga teknis daerah dapat mengambil prakarsa
untuk menyusun Raperda. Usulan Raperda tersebut dimintakan persetujuannya
kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. Sebelum diajukan kepada kepala
daerah, sekretaris daerah melalui bagian hukum bisa melakukan harmonisasi dan
sinkronisasi. Permohonan persetujuan dilampiri dengan pokok-pokok pikiran atau
konsepsi pengaturan, yang memuat: (1) latar belakang, maksud dan tujuan
pengaturan; (2) dasar hukum; (3) materi yang diatur, dan (4) keterkaitan dengan
peraturan perundang-undangan lain.
BAB IV
PENUTUP
Bardasarkan
pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini kami akan mengambil suatu kesimpulan
dan saran-saran terkait pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya.
4.1. Kesimpulan
1. Kerjasama
antara Kepala Daerah baik itu Bupati atau Walikota dengan DPRD Kabupaten atau
Kota dengan DPRD Kabupaten Kota dalam proses penyusunan rancangan peraturan
deerah itu terlihat mulai pada masa mengusulan, penyusunan, sampai dengan
disahkannya peraturan yang dikehendaki tersbut.
2. Hubungan
yang dijalin antara Kepala Daerah baik itu Bupati atau Walikota dengan DPRD
Kabupaten atau Kota dengan DPRD Kabupaten Kota dalam proses penyusunan
rancangan peraturan deerah itu merupakan salah satu bentuk dari penciptaan
suasana good governance pada tataran
pemerintahan derah.
4.2. Saran-saran
Adapun saran-saran terkait dengan pembahasan
diatas yaitu baik pemerintah daerah maupun DPRD harus bersinergi di dalam
menciptakan suasana pemerintahan yang baik. Dimana dalam penyusunan rancangan
peraturan daerah tidak boleh ada nuansa menjatukan satu sama lain meskipun
meskipun ada perbedaan pandangan dari berbagai fraksi.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiardjo,
Miriam dan Ambong, Ibrahim (Eds.), Fungsi Legislatif Dalam Sistem Politik
Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
Budiardjo,
Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003,
hal. 173
Busroh,
Abu Daud, Intisari Hukum Tata Negara Perbandingan Konstitusi Sembilan
Negara, Bina Aksara, Jakarta,
1987, hal. 15.
Darumurti,
Krishna dan Rauta, Umbu, Otonomi Daerah Perkembagangan Pemikiran dan
Pelaksanaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 47
MD,
Mahfud, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi,
Gama Media, Yogyakarta, 1999,
hal. 220
Dokumen-dokumen
Undang-Undang
Dasar RI Tahun 1945
Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemeintahan Daerah
PP
No. 1 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD,
Kepmendagri
No. 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah
Sangat Bermanfaat Makala ini, Sebagai Bekal Awal Bagi Generasi Muda yang Mau Berkecimpung di Dunia Politik, Harus Faham Sistem Pemerintahan Legislatif dan Eksekutif....Terimaksih...
BalasHapus